Friday, June 17, 2011

Pendidikan Indonesia, Mau Dibawa Kemana?



Life is education and education is life. Itulah yang di katakan oleh Prof. Propert Lodge. Pernyataan Lodge tersebut mengisyaratkan kepada kita semua bahwa, antara pendidikan dengan kehidupan hampir tidak ada bedanya. Keduanya memiliki pengertian yang telah menyatu dalam sebuah kerangka filosofis. Proses pendidikan tidak lain adalah proses bagi manusia dalam mengarungi samudera kehidupan dan sebaliknya.
Maksudnya, proses bagaimana seseorang mengenali dirinya dengan segala potensi yang ia miliki dan paham dengan apa yang tengah dihadapinya dalam realitas hidup yang nyata ini.
Sekarang, kita tengok kepada negara kita sendiri. Apakah generasi muda yang seharusnya menjadi penerus bangsa telah mengenali diri mereka sendiri dengan segala potensi yang mereka miliki? Serta paham dengan apa yang tengah di hadapinya dalam kehidupan yang nyata ini. Jawabannya adalah belum. Mereka juga tidak tahu apa yang sedang mereka hadapi. Hal ini merupakan  tanda-tanda pendidikan di Indonesia mulai mengalami kemerosotan.
Beberapa faktor yang memicu terjadinya kemerosotan pendidikan di Indonesia antar lain; generasi  penerus bangsa itu sendiri sebagai pelaku / pemeran utama yang menerima pendidikan, tenaga pengajar sebagai pembimbing dalam dunia pendidikan, fasilitas-fasilitas sebagai penunjang kegiatan kependidikan, peranan pemerintah dalam hal pengembangan kualitas pendidikan. Kali ini izinkan saya untuk sedikit mengulas dan sedikit berpendapat mengenai keadaan pendidikan di Indonesia. Mengapa pendidikan Indonesia tergolong masih rendah. Bahkan saya pernah membaca di media online bahwa Indeks Pembangunan Pendidikan Indonesia tergolong masih rendah.
Berikut ini sedikit cuplikan berita yang bersumber dari kompas.com
JAKARTA, KOMPAS.com – Indeks pembangunan pendidikan untuk semua atau education for all di Indonesia menurun. Jika pada 2010 lalu Indonesia berada di peringkat 65, tahun ini merosot ke peringkat 69.
Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin (1/3/201) waktu setempat, indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia.
EDI dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium berada di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80.
Global Monitoring Report dikeluarkan setiap tahun yang berisi hasil pemonitoran reguler pendidikan dunia. Indeks pendidikan tersebut dibuat dengan mengacu pada enam tujuan pendidikan EFA yang disusun dalam pertemuan pendidikan global di Dakar, Senegal, tahun 2000.
Saat ini Indonesia masih tertinggal dari Brunei Darussalam yang berada di peringkat ke-34. Brunai Darussalam masuk kelompok pencapaian tinggi bersama Jepang, yang mencapai posisi nomor satu dunia.
Adapun Malaysia berada di peringkat ke-65 atau masih dalam kategori kelompok pencapaian medium seperti halnya Indonesia. Posisi Indonesia jauh lebih baik dari Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos (109).
Total nilai EDI itu diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori penilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar (SD).
Penurunan EDI Indonesia yang cukup tinggi tahun ini terjadi terutama pada kategori penilaian angka bertahan siswa hingga kelas V SD. Kategori ini untuk menunjukkan kualitas pendidikan di jenjang pendidikan dasar yang siklusnya dipatok sedikitnya lima tahun.
Nahh seperti diatas lah berita yang saya kutip dari kompas.com, kembali ke topik pembicaraan..
Beberapa faktor penyebab masalah ini..
Pertama adalah generasi-generasi penerus bangsa itu sendiri. Hal ini menjadi faktor yang paling dominan. Karena, benih-benih yang lahir di tanah air tercinta kita inilah merupakan calon-calon penerus yang akan menggenggam nasib bangsa. Akankah ke masa depan yang positif, atau justru ke arah yang negatif. Itu semua tergantung kepada mereka.
Nha, sekarang kita coba untuk introspeksi diri, apa yang sudah kita lalukan untuk bangsa ini. Lalu apa yang juga terjadi pada bangsa ini? Mengapa kita cenderung menjadi manusia yang konsumtif dalam kehidupan, mengapa kita tidak bisa seperti negara-negara maju seperti Jepang yang bertindak produktif. Sebagai contoh konkretnya, misalkan begini, anak sekolah dasar di Indonesia atau SD di ajari untuk menggunakan barang-barang elektronik seperti HP, game, dll. Berbeda dengan anak sekolah dasar di negara Jepang, dengan usia yang relatif muda, meraka sudah diajari merakit alat-alat atau barang elektronik seperti HP, game, dll. Berbanding terbalik bukan, dengan keadaan di negara kita ini. Apakah karena kita belum bisa di setarakan dengan negara-negara maju seperti Jepang? Negara maju, sedangkan kita adalah negara berkembang yang masih membutuhkan proses. Jelas hal itu bukan alasan yang tepat untuk kita tidak bisa berdiri sama tinggi, duduk  sama  rendah dengan mereka. Justru perbedaan tersebut seharusnya mampu memberi  energi besar kepada kita untuk membuktikan bahwa kita mampu bersaing dengan mereka.
Mayoritas generasi Indonesia memilki kebiasaan malas yang lama-lama menjadi karakter buruk. Malas memainkan otak untuk bersaing, malas berusaha menyesuaikan perkembangan zaman. Cenderung primitif, tidak tau dan memang tidak ingin tahu tentang perkembangan di era globalisasi. Yang dipikirkan hanya bagaimana cara memperkaya diri. Kalau itu memang yang telah terjadi, ya jelaslah pendidikan Indonesia dikategorikan sebagai negara yang pendidikannya rendah. Jika  kondisi seperti itu tidak diperbaiki, dan bangsa ini tidak segera melakukan revitalisasi pembangunan sektor pendidikan, republik yang sedang murung dan bersedih hati ini akan menghadapi risiko dan bencana kenamusiaan yang dahsyat, berupa tersungkurnya sebagian besar rakyat yang pernah dikandung dan dilahirkan ibu pertiwi ini ke dalam lembah keterbelakangan budaya, peradaban, teknologi, dan seni. Sebagian kecil dari bahaya dan risiko itu telah di ungkapkan oleh Sheridan (1999:39) dalam Suyanto, Dinamika pendidikan Nasional.
Selanjutnya faktor yang tidak kalah penting adalah tenaga pengajar sebagai pembimbing di dunia kependidikan. Banyaknya guru atau dosen yang belum memenuhi persyaratan penentuan aspek input dan proses pendidikan.
  1. Guru TK sebanyak 137.069, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 12.929 orang (9,43%).
  2. Guru SD sebanyak 1.234.927, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 625.710 orang (50,67%).
  3. Guru SMP sebanyak 466.748, yang sudah meiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kuakifikasi pendidikannya baru 299.105 orang (64,08%).
  4. Guru sekolah Menengah sebanyak 377.673 , yang sudah meiliki kewenangan mengajar sesuai dengan dengan kualifikasi pendidikannya baru 238.028 orang(63,02%).
  5. Dosen perguruan tinggi sebanyak 210.210, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 101.87 orang (48,46%).
sumber: Prof. Suyanto, Ph.D “Dinamika Pendidikan nasional”
Lagi-lagi faktor yang  tak kalah penting adalah tersedianya fasilitas-fasilitas yang sangat mempengarui tinggi rendah, maju mundurnya suatu pendidikan. Berikut ini adalah data ruang kelas yang tidak layak pakai untuk proses belajar.
  1. Ruang kelas TK yang jumlahnya 93.629, yang kondisinya masih baik hanya 77.3999 (82,67%).
  2. Ruang kelas SD yang jumlahnya 865.258, yang kondisinya masih baik hanya 364.440. (42,12%)
  3. Ruang kelas SMP yang jumlahnya 187.480, yang kondisinya baik hanya 154.283 (82,29%)
  4. Ruang kelas SMA yang jumlahnya 124.417, yang kondisinya baik berjumlah 115.749 (93,07%)
sumber: Prof. Suyanto, Ph.D “Dinamika Pendidikan nasional”

Begitulah kondisi yang telah menimpa negara tercinta kita ini. Selain kondisi sekolah yang demikian, fasilitas pendukung lain sepertinya juga jauh dari yang diharapkan. Seharusnya fasilitas pendidikan bisa digunakan sebagai jembatan untuk memajukan pendidikan Indonesia..! Karena dengan begitu siswa atau pelajar pun tidak akan tertinggal oleh perkembangan pendidikan di dunia. Meskipun hal itu belum bisa diterapkan di Indonesia setidaknya standarkan semua lembaga pendidikan di Indonesia, karena di sanalah tempatnya para generasi penerus bangsa mencari ilmu atau pendidikan. Dan yang perlu diperhatikan lagi adalah studi banding, karena dengan kegiatan itu,  antara lembaga pendidikan bisa saling berbagi informasi pendidikan dan bisa meningkatkan kualitas dari masing-masing sekolah. Dengan kata lain meraka saling mencari referensi pendidikan.
Setelah ke semua faktor di atas dapat kita ketahui, pemerintah merupakan pendukung yang sangat penting bagi pendidikan di Indonesia. Tapi, kenyataannya di indonesia sektor pendidikan tidak menjadi prioritas dan unggulan bagi kebijakan nasional dalam meningkatkan SDM. Untuk menghindari risiko tersebut, pemerintah seharusnya menjadikan pembangunan sektor pendidikan sebagai ujung tombak bagi proses kebangkitan kembali bangsa ini. UNESCO (1998:22) yakin bahwa pendidikan memiliki peran yang unik untuk memberantas kemiskinan.
Sekarang, kita telah memiliki pandangan bukan bagaimana kita harus membawa nasib bangsa kita ini dalam derasnya arus globalisasi.
Semoga sedikit tulisan yang dapat saya paparkan ini, bermanfaat bagi kita semua terutama bagi generasi penerus bangsa, para pembimbing, dan tindakan pemerintah untuk memperbaiki pendidikan indonesia.
Karena, kalau bukan kita yang memperbaiki nasib bangsa, siapa lagi?
Majulah terus pendidikan Indonesia!!! Bukan tak mungkin oarng-orang besar seperti Albert Einstein dan para ilmuan besar lainnya yang mampu mengubah kehidupan bangsanya lahir dari tanah air tercinta kita yaitu INDONESIA.

Sumber: http://indonesiaberprestasi.web.id

No comments:

Post a Comment