Friday, June 17, 2011

Mari Mengisi Wawasan Kebangsaan


Pemilihan Puteri Indonesia, kejuaraan tingkat dunia yang diikuti oleh atlet nasional kita, keikutsertaan siswa-siswi Indonesia dalam olimpiade Fisika, Informatika, dan masih banyak lagi ajang lomba internasional, tentu sedikit banyak membangkitkan diskusi yang akan menyentuh rasa kebangsaan kita. Kita sejenak berkesempatan memikirkan dan mengimajinasikan negara kita dengan belasan ribu pulau, ratusan suku bangsa, keragaman bahasa, budaya, dan kekayaan alam, serta berjuta kekayaan yang tidak bisa kita sebutkan satu per satu. Bukankah hati kita masih tergerak bangga bila mendengar ada individu yang mengharumkan nama bangsa? Ini tentu tanda bahwa di hati kita “ruang” bagi wawasan kebangsaan masih ada dan seakan memanggil-manggil ingin “disuburkan”.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita cukup shock bila menyaksikan pemahaman yang tidak mendalam mengenai apa sebenarnya hakikat kebangsaan Indonesia itu. Hiras M.S. Turnip, di sebuah situs menuliskan: “Saya tidak yakin (bukan berarti pesimis) jika kita ambil sampel di tempat-tempat umum (misalnya mall-mall), apakah pemuda-pemudi kita hafal 100 persen lagu Indonesia Raya? Tanyakan pula, siapa pencipta lagu Bagimu Negeri? Sekali lagi, meskipun kadar kebangsaan seseorang tidak semata-mata diukur dengan bisa tidaknya menyanyikan lagu kebangsaan, atau mengetahui lagu-lagu wajib perjuangan, paling tidak hal ini menjadi suatu peringatan bagi kita pencinta bangsa dan negara ini.”
Ya, mungkin tidak salah bila sekarang ini kita katakan bahwa pemahaman dasar wawasan kebangsaan tidak lagi dipahami oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Ini juga mungkin yang melatarbelakangi tidak jelasnya alasan kita memilih pemimpin bangsa atau wakil rakyat. Bukankah kita terkadang merasa “asal coblos” saja, tanpa mempertimbangkan kualitas dan visi pemimpin yang kita pilih?
Ujian terhadap rasa kebangsaan tentu saja bisa terlihat dari dari cara kita merespons berbagai situasi. Berapa banyak orang yang segera turun tangan membantu saat bencana longsor dan banjir terjadi? Bukankah kita kerap bersikap cuek, berjarak, bahkan memikirkan diri sendiri saat menyaksikan keterpurukan, konflik, dan sikap merendahkan bangsa sendiri? Sebagai profesional dan pekerja, apakah kita senantiasa memikirkan memberi kontribusi bagi bangsa dalam bekerja? Ataukah sekadar mengejar kenyamanan dan kesejahteraan pribadi? Tentu saja kita tak bisa terus diam melihat rasa kebangsaan terkikis oleh  rasa helpless dan sikap cuek yang berkepanjangan.
Globalisasi vs nasionalisme
Globalisasi dan terbukanya arus informasi membuat kita sekarang ini bisa dengan mudah mem-benchmark kondisi kita dengan negara lain. Kondisi masyarakat kita yang masih belum berkemakmuran dan belum tertata, tak jarang menumbuhkan rasa kecewa dan frustrasi saat kita menyaksikan kemilaunya nilai-nilai kontemporer di kawasan internasional. Kita yang berkesempatan melakukan banyak interaksi eksternal, bepergian ke negara-negara maju, menikmati fasilitas publiknya yang begitu nyaman dan modern pun, mudah sekali mengalami konflik antara mengagumi kemajuan yang dicapai negara lain dengan menghargai apa yang kita punya di tanah air. Rasa frustrasi dan tidak menghargai tanah air dan bumi yang kita pijak, tentu saja sangat berbahaya. Bukankah kita lebih baik bersama-sama menumbuhkan akar pemikiran yang dalam mengenai peran dan kontribusi kita dan memikirkan “mengapa kita di sini’?
Kita memang tidak bisa menghindari globalisasi. Itu sebabnya kita perlu memutar otak dan memanfaatkan imbas globalisasi ke arah hal-hal yang positif. Bila kita terus mengembangkan rasa cinta, rasa hormat, rasa memiliki, semangat ingin memajukan bangsa, dan niat untuk menjaga martabat bangsa dan negaranya, globalisasi tentu akan terasa sebagai peluang untuk menunjukkan kebanggaan kita pada bangsa, memamerkan keluhuran nilai dan budaya yang ada. Bukankah globalisasi juga menjadi timing yang baik untuk memasarkan produk Indonesia ke pasar internasional?
Memang adalah tanggung jawab kita untuk membangun budaya bangsa. Ingat bahwa budaya tidak semata produk seni dan gaya hidup belaka, sebagaimana ungkapan pemimpin India, Jawaharlal Nehru:Culture is the widening of the mind and of the spirit.”
Mengisi wawasan kebangsaan
Saya terperangah, menyaksikan lomba cerdas cermat mengenai wawasan Indonesia yang dilakukan di sebuah sekolah nasional plus. Soal-soal yang diberikan bukan semata hafalan Pancasila atau lagu-lagu wajib, tetapi para peserta juga diminta untuk menjelaskan perbedaan prinsip antara wayang golek dan wayang kulit. Para murid ini pun diajukan pertanyaan mengenai kecenderungan bereaksi dan cara menunjukkan sikap berbangsa dalam menghadapi situasi-situasi yang berkonflik.
Memang sangat terasa, semakin kita mengenal bangsa kita, semakin tumbuh rasa bangga dan cinta pada bangsa. Saya jadi bertanya-tanya, apakah pelajaran ini memang wajib ada di setiap sekolah dasar sampai sekarang? Bukankah hal ini tak kalah pentingnya dengan orientasi global, sains, dan teknologi? Tentu tak cukup bila wawasan bernegara atau pelajaran bela negara hanya diberikan kepada militer saja, bukan?
Banyak ujian dan pertanyaan yang perlu kita jawab untuk menyikapi krisis kebangsaan yang kerap kita lihat di depan mata kita. Kita perlu bertanya, sudahkah kita menangkap aspirasi pelajar juara kompetisi sains dan peneliti-peneliti pintar agar mereka tidak membaktikan dirinya kepada institusi di luar Indonesia?
Bagaimana dengan pengembangan produk Indonesia? Sudahkah kita memberi ruang dan memakai produk buatan dalam negeri, meskipun belum 100 persen sama kualitasnya dengan buatan asing? Bukankah hanya dengan memberi kesempatan dan menggunakan produk Indonesia kita menolong produk Indonesia untuk bisa berkompetisi di arena global secara mandiri?
Tentu kita juga harus bertanya, sudahkan kita menjaga agar kreasi, kesenian, desain, arsitektur masyarakat tetap dikembangkan, dan tidak terimbas pada budaya instan yang hanya bisa membeli, membeli, dan membeli?
Ini memang panggilan untuk kita semua yang tentu saja memiliki wawasan kebangsaan. Kitalah yang perlu aktif mengembangkan, memanfaatkan dan memakai, dan tidak sekadar mengkritik, kecewa, dan ikut memperluas krisis kebangsaan. Tak ada kata terlambat untuk mulai lebih memahami, kemudian menunjukkan dalam tindakan nyata rasa bangga dan kecintaan terhadap tanah air, dari hal yang kecil, sejak dari sekarang.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber: KOMPAS Cetak

Menjadikan Dinamika Perkembangan Pendidikan di Indonesia Sebagai Rujukan Penerapan Strategi Pendidikan di Asia Tenggara


Ilmu pengetahuan dan pendidikan merupakan aset utama sebuah peradaban suatu bangsa. Itu menjadi modal dasar untuk kita bersaing meningkatkan taraf hidup, karena dua hal tersebut adalah parameter fundamental yang menentukan tingkat kecerdasan suatu bangsa, kemajuan suatu peradaban dan kedudukan sosial suatu masyarakat.
Permasalahan yang paling meradang dalam perkembangan pendidikan adalah mengenai kesenjangan pendidikan di berbagai daerah atau regional. Di satu sisi, tampak kemapanan dan taraf pendidikan yang layak dengan fasilitas yang memadai kita lihat di beberapa kota besar. Namun di sisi lain, realita yang menyedihkan terpampang jelas di daerah pedalaman yang miskin jauh dari akses modernisasi dan standar hidup yang layak.
Dalam menganalisis permasalahan yang ada serta menentukan strategi pendidikan dalam menyelesaikannya. Ada baiknya kita menengok evolusi perkembangan strategi pendidikan Indonesia dari tahun ke tahun sejak pertama kali negara ini mempunyai otoritas penuh menentukan strategi pendidikan untuk warga negaranya. Dalam perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia, setidaknya sudah ada beberapa kali pergantian strategi dan penerapan sistem pembelajaran. Diawali pada tahun 1947 dengan sebutan Rentjana Pembelajaran 1947 di mana tujuan pendidikan pada masa itu menekankan pada pembentukan karakter rakyat untuk meyadari kedudukan bangsa Indonesia yang berdaulat dan sejajar dengan negara lain. Dalam analisisnya, hal ini dimaksudkan pemerintah untuk menanamkan kepercayaan diri bangsa Indonesia di tangah kondisi yang baru berdaulat dan merdeka dua tahun sebelumnya.
Kemudian pada tahun 1952, pendidikan mengalami perubahan lebih mengarah pada pembelajaran yang disesuaikan dengan kehidupan dan kebutuhan nyata yang dialami oleh masyarakat sehari-hari. Strategi ini dikenal dengan Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Selanjutnya strategi ini disempurnakan dengan titik tekan pada pengembangan moral, kecerdasan emosional, keterampilan dan jasmani pada tahun 1964 bertajuk Program Pancawardhana. Ternyata keterampilan yang di dapat dalam kehidupan nyata siswa terlampau berbeda. Dinamikan sosial yang ditemui justru lebih kompleks dan perlu adanya penanaman ideologis kebangsaan agar pengembangan moral dan emosional peserta pendidikan memiliki tujuan dan dasar yang jelas. Hingga selanjutnya ketika masa pemerintahan orde baru bangsa Indonesia mencoba  mengiplemantasikan strategi pendidikan yang mengarah pada pembinaan jiwa pancasila sebagai landasan Ideologi dalam berbangsa dan bernegara. Dengan tujuan agar bangsa Indonesia berkembang berdasarkan ciri khas dan identitasnya.
Perkembangan strategi pembelajaran dalam pendidikan Indonesia mulai terasa efektif ketika pada tahun 1984 yang dikenal dengan Cara Belajar Siswa Aktif. Dalam pembelajaran ini, siswa terlibat aktif secara fisik, mental, intelektual dan emosional terhadap gurunya. Program pendidikan yang fleksibel yang mengutamakan tingkat interaksi siswa dan pengajar secara aktif. Program ini berbuah manis hingga melahirkan kedekatan personal antara guru dan siswa dan juga gairah belajar siswa yang meningkat tajam.
Namun seiring berjalannya waktu, proses pembelajaran dengan sistem pendidikan seperti ini memiliki kelemahan berupa kualitas bahan ajar yang diberikan oleh tenaga pengajar masih bersifat subjektif. Artinya, kapasitas materi tidak diutamakan, hingga akhirnya melahirkan kompetensi siswa yang tidak merata dan tidak memiliki standar pendidikan yang jelas. Dengan latar belakang kondisi seperti lahirnya otoritas pemerintah dalam pembentukan standar kurikulum yang akhirnya muncul ‘sistem pendidikan satu pintu’ untuk pertama kalinya di Indonesia yakni pada tahun 1994. Pemerintah pusat menyusun standar berdasarkan beberapa sekolah yang memiliki standar kualitas yang tinggi disertai dengan penunjang yang memadai.
Hingga akhirnya pada dekade terakhir, kurikulum yang sama berupa pembelajaran satu pintu namun dibungkus dengan nama lain berupa Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dalam strategi ini, pengembangan kemampuan untuk melakukan kompetensi dengan standar yang telah ditetapkan. Tujuan dari program ini adalah peserta pendidikan mampu mengetahui, menyikapi, dan melakukan materi pembelajaran secara bertahap dan berkelanjutan hingga akhirnya menjadi kompeten berdasarkan rancangan standar yang diatur oleh pendidikan pusat. Pelaksanaan program ini tidak bertahan lama, karena pada tahun 2004 strategi ini direvisi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dimana konsep yang ditawarkan masih sama yaitu mengacu pada basis kompetensi. Perbedaannya adalah pihak sekolah mempunyai otoritas untuk menyusun program pendidikan dengan tujuan yang sama. Jadi dalam sistem ini sekolah memiliki kreasi untuk menyelanggarakan pendidikan namun dengan tujuan yang sudah dapat ditentukan oleh pemerintah pusat.
Belajar dari dinamika perkembangan strategi pendidikan di Indonesia di atas, secara umum dapat dipetik sebuah ide brilian untuk di terapkan dalam mendukung upaya meningkatkan kerjasama regional dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan di Asia Tenggara. Karena gagasan-gagasan strategi pendidikan ini muncul karena latar belakang yang sama berupa ketidakmerataan taraf pendidikan dan latar belakang budaya di berbagai regional di Asia Tenggara, kesenjangan pendidikan karena dukungan fasilitas berupa akses dan informasi pendidikan di masing-masing daerah tidak merata, dan negara-negara di Asia Tenggara juga memiliki tujuan yang sama berupa pengembangan sumber daya manusia yang berkompeten dengan standar kebijakan-kebijakan lokal masing-masing negara.
Strategi yang harus dikembangan di regional kita harus memiliki esensi yang tersirat dalam sistem pembejaran yang pernah diterapkan di masing-masing negara di ASEAN. Ruh yang pertama adalah dalam perannya, unsur pendidikan memiliki kesadaran untuk menjadi teladan jika kondisinya sudah mapan dan berkembang pesat dibandingkan unsur pendidikan di beberapa regional lainnya. Nilai yang dapat di ambil adalah sumber daya manusia yang berpengatahuan harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat sekitar yang masih terbelakang. Ruh yang kedua adalah dalam fungsinya, ketika strategi pendidikan ini lebih menitikberatkan pada seluruh elemen pendidik berupa pengajar, peserta ajar, pemerintah sebagai penentu kebijakan, sekolah sebagai penyelenggara dan orang tua sebagai pendukung pembelajaran. Kelima aspek ini berfungsi memberikan kontribusi berupa karya nyata  untuk masyarakat dan berkomitmen untuk berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat sesuai dengan kebijakan pemerintah lokal. Ruh yang terakhir mengenai komitmen pendidikan untuk tidak menjadi sarana komerisalisasi yang hanya memberikan keuntungan bagi sebagian pihak dan merugikan pihak lain secara tidak langsung. Pendidikan harus berkomitmen untuk menjadi motor penggerak kemajuan peradaban tanpa ada tujuan-tujuan komersial yang akan memperburuk citra pendidikan itu.
Dari ketiga ruh ini akan muncul sosok para pemimpin muda yang lahir dari rahim pendidikan kita untuk menjadi sosok-sosok inspiratif bagi masyarakat. Totalitas berjuang untuk negeri tanpa tercemar racun-racun pemikiran asing yang bersifat destruktif, hingga akhirnya terjerumus dalam dominasi negara-negara luar. Sudah saatnya kita sebagai bangsa-bangsa di ASEAN mulai berteriak kepada dunia dan bangga mengatakan, “Inilah kami anak-anak bangsa yang siap membangun negeri dan berkontribusi untuk dunia!”
* * *
Tulisan oleh:
Solli Dwi Murtyas
Jurusan Teknik Fisika
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
Sumber : http://indonesiaberprestasi.web.id

2020, Indonesia Menjadi Kiblat Fashion Muslim Dunia


Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia mempunyai nilai ekonomis yang tinggi bagi perkembangan busana muslim. Target untuk menjadi pusat fashion muslim dunia ditetapkan tidak hanya oleh pengusaha fashion tetapi juga oleh pemerintah. Tahun 2020 ditetapkan sebagai target pencapaian rencana besar tersebut.
“Enam dari 10 wanita Indonesia memakai pakaian muslim, dan itu tidak harus jilbab atau penutup kepala. Inilah yang menjadi fenomena dan potensi pasar yang cemerlang bagi industri fashion,” ungkap Mar-Com Director Indonesia Islamic Fashion Consortium (IIFC), Eka Rofi Shanty di Jakarta, Jumat (3/12).
Pemerintah Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sangat mendukung rencana dan target IIFC tersebut. Deputi Bidang Koordinasi Industri dan Perdagangan, Edy P Irawady mengatakan, “Masyarakat Muslim Indonesia saat ini juga sudah melek fashion, dan target menjadi kiblat fashion muslim dunia bukanlah hal yang berlebihan dan itu harus segera diupayakan.”
Fashion Muslim di Indonesia memiliki ciri khas yang tidak bisa ditiru oleh negara manapun. Kolaborasi efektif antara pemerintah dan swasta dalam upaya mengoptimalkan potensi kekayaan budaya dan perancang busana akan menghasilkan produk inovatif dan produktif.
Batik, tenun, rajut dan perpaduan motif serta warna khas dari daerah-daerah di seluruh Indonesia merupakan kekayaan budaya yang sangat potensial. “Adalah hal yang good to be ignore, jika kesemua kekhasan budaya hanya kita anggurin,” ungkap Eka.
Pencanangan Indonesia sebagai kiblat fashion muslim dunia telah dikemukakan pada 13 Agustus lalu di Plaza Indonesia, Jakarta. Sebelumnya, penampilan fashion show busana muslim Indonesia pada World Expo di Shanghai, China juga mendapat sambutan meriah.
Target 10 tahun ke depan bukan hanya milik industri fashion, tetapi juga target bersama pemerintah dan masyarakat Indonesia. Karena hal tersebut akan turut meningkatkan potensi kunjungan wisata belanja dan devisa negara. (MI/RIZ)
Sumber: MetroTVNews

Berbuat Untuk Indonesia


Tuhan sungguh sedang tersenyum saat menciptakan Indonesia. Negeri indah yang subur dengan segala keanekaragaman budaya warisan nenek moyang. Kebinekaan yang mengajarkan kearifan lokal tentang hubungan antara manusia dan alam. Kearifan lokal, yang jauh dari keserakahan pribadi atau kelompok, mampu mempersatukan rakyat Indonesia untuk merdeka dari penjajahan.
Akan tetapi, kini kita hanya bisa merasakan kehangatan persatuan seperti itu lagi di lokasi-lokasi bencana. Ribuan orang dari berbagai daerah langsung datang membantu korban bencana. Mereka berjuang mengevakuasi korban, menguburkan korban tewas, sampai mendistribusikan logistik untuk pengungsi tanpa pamrih. Kegembiraan mereka adalah ketika menyaksikan korban bencana tersenyum lagi. Tidak lebih.
Agen keluhuran
Mereka menjadi agen penebar keluhuran budi pekerti bangsa berpenduduk 237 juta jiwa ini. Negeri yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas ke Pulau Rote ini ternyata masih memiliki jiwa kemanusiaan yang kuat.
Indonesia bukanlah seperti debat kusir politisi yang kerap tidak menghasilkan satu solusi atas persoalan. Apalagi seperti panggung politik yang belakangan ini lebih gencar menyuarakan kepentingan kelompok daripada nasional.
Masyarakat pun tergiring hidup terkotak-kotak dalam sekat primordialisme dan agama. Mereka kian terjebak dalam demokrasi yang mengandalkan survei konsultan pencitraan.
Sebenarnya masih banyak rakyat di seluruh Indonesia yang menjalankan nilai-nilai luhur, seperti gotong royong, musyawarah, dan toleransi. Masyarakat di Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat; Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat; Wayame, Teluk Ambon, Ambon, Maluku; dan lereng Gunung Merapi di Jawa Tengah serta Daerah Istimewa Yogyakarta masih merawat pohon rindang solidaritas sosial tersebut.
Seperti di Desa Ramiki, Wasior. Kakak beradik Agus Sawaki (30) dan Tera Sawaki (32) membangun jaringan pipa air bersih dari mata air sejauh 100 meter ke lokasi hunian sementara pengungsi di desa mereka. Upaya mereka tidak sia-sia. Magdalena Ramar (21) dan 100 keluarga pengungsi lain tak perlu lagi mengangkut air dari mata air.
”Kasihan. Kalau tidak dibantu, pengungsi harus mondar-mandir mengangkut air,” ujar Tera.
Responsif
Tanpa mengeluh tentang pemerintah, Tera dan Agus berusaha sendiri membangun jaringan pipa air bersih untuk pengungsi. Mereka juga tidak menuntut apa pun dari para pengungsi atas jerih payah mereka.
Coba lihat kesigapan Yanto, Kepala Desa Banyuroto, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Yanto langsung bertindak cepat ketika ribuan warga Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, dan warga Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, mengungsi dari awan panas Gunung Merapi, 5 November 2010. Desa Banyuroto bukanlah kawasan pengungsian. Namun, Yanto tanpa ragu langsung menyiapkan rumah penduduk, gedung sekolah, dan balaidesa untuk menampung para pengungsi yang kelelahan fisik dan mental.
Yanto langsung meminta setiap keluarga di Desa Banyuroto menyumbangkan lima bungkus nasi dengan lauk-pauk untuk konsumsi pengungsi. Tidak ada pertanyaan untuk siapa nasi bungkus diberikan atau kenapa setiap keluarga harus menyumbangkan lima bungkus.
Mereka melakukannya persis seperti masa perjuangan kemerdekaan puluhan tahun silam, saat semua orang berjuang demi Republik Indonesia. Bukan untuk suku, agama, maupun kelompok mereka. Warga Desa Banyuroto menjalaninya dengan sukacita. ”Menolong sesama adalah kewajiban kita semua,” ujar Yanto.
Dari lokasi bencana kita belajar, korban dan relawan sadar kekuatan mereka adalah bersatu. Saling bertentangan tanpa solusi hanya akan menambah beban mereka dan tidak menyelesaikan masalah. Ketegasan, transparansi, dan keikhlasan menjadi kunci utama untuk segera keluar dari situasi yang serba darurat di kawasan bencana.
Seperti halnya di Dusun Tumalei, Desa Silabu, Kecamatan Pagai Utara, yang termasuk wilayah terpencil di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Warga bergotong royong membangun permukiman baru di lahan seluas 7 hektar yang dihibahkan Kornelius Saogo (65), Christian Berisigep, Libertius Saogo, Robertinus Saogo, dan Mortius Saogo (almarhum), melalui ahli warisnya, Nurman Saogo, dengan sukarela.
Mereka tidak memedulikan pohon meranti putih, meranti merah, balam, pisang, kelapa, dan tanaman bernilai ekonomi lain ditebangi untuk relokasi penduduk. Kornelius mengatakan, dia telah merelakan tanah dan kebunnya untuk permukiman penduduk karena tak ingin tinggal sendiri. Kini, tiga rumah sudah berdiri dan menyusul empat rumah berikutnya sebelum semua 43 rumah yang direncanakan selesai tahun depan.
Mengeksploitasi
Keteguhan masyarakat menjalankan nilai keluhuran bangsa kadang kala terganggu godaan dan rayuan politisi yang pragmatis. Mereka memakai cara-cara instan untuk merengkuh dukungan, lalu meninggalkan rakyat setelah mendapatkan kedudukan.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif mengatakan, pada masa sekarang, rakyat Indonesia bahkan tak ubahnya seperti dijajah oleh bangsa sendiri. Hal ini ditandai dengan upaya berbagai pihak mengeksploitasi rakyat yang, antara lain, diwujudkan dalam praktik korupsi yang semakin menjadi-jadi.
Syafii mengatakan, ini menjadi hal yang patut diwaspadai karena menjadi gejala awal kehancuran bangsa. ”Bangsa Indonesia dikhawatirkan akan meniru jejak sejarah VOC yang hancur pada 1799 karena digerogoti korupsi,” ujarnya.
Indonesia tumbuh bukan karena perjuangan satu kelompok ataupun golongan. Sudah semestinya kita memelihara kebinekaan yang menyatukan Indonesia tanpa kecuali. Selamat Tahun Baru 2011.
Sumber: KOMPAS

Pendidikan Indonesia, Mau Dibawa Kemana?



Life is education and education is life. Itulah yang di katakan oleh Prof. Propert Lodge. Pernyataan Lodge tersebut mengisyaratkan kepada kita semua bahwa, antara pendidikan dengan kehidupan hampir tidak ada bedanya. Keduanya memiliki pengertian yang telah menyatu dalam sebuah kerangka filosofis. Proses pendidikan tidak lain adalah proses bagi manusia dalam mengarungi samudera kehidupan dan sebaliknya.
Maksudnya, proses bagaimana seseorang mengenali dirinya dengan segala potensi yang ia miliki dan paham dengan apa yang tengah dihadapinya dalam realitas hidup yang nyata ini.
Sekarang, kita tengok kepada negara kita sendiri. Apakah generasi muda yang seharusnya menjadi penerus bangsa telah mengenali diri mereka sendiri dengan segala potensi yang mereka miliki? Serta paham dengan apa yang tengah di hadapinya dalam kehidupan yang nyata ini. Jawabannya adalah belum. Mereka juga tidak tahu apa yang sedang mereka hadapi. Hal ini merupakan  tanda-tanda pendidikan di Indonesia mulai mengalami kemerosotan.
Beberapa faktor yang memicu terjadinya kemerosotan pendidikan di Indonesia antar lain; generasi  penerus bangsa itu sendiri sebagai pelaku / pemeran utama yang menerima pendidikan, tenaga pengajar sebagai pembimbing dalam dunia pendidikan, fasilitas-fasilitas sebagai penunjang kegiatan kependidikan, peranan pemerintah dalam hal pengembangan kualitas pendidikan. Kali ini izinkan saya untuk sedikit mengulas dan sedikit berpendapat mengenai keadaan pendidikan di Indonesia. Mengapa pendidikan Indonesia tergolong masih rendah. Bahkan saya pernah membaca di media online bahwa Indeks Pembangunan Pendidikan Indonesia tergolong masih rendah.
Berikut ini sedikit cuplikan berita yang bersumber dari kompas.com
JAKARTA, KOMPAS.com – Indeks pembangunan pendidikan untuk semua atau education for all di Indonesia menurun. Jika pada 2010 lalu Indonesia berada di peringkat 65, tahun ini merosot ke peringkat 69.
Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin (1/3/201) waktu setempat, indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia.
EDI dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium berada di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80.
Global Monitoring Report dikeluarkan setiap tahun yang berisi hasil pemonitoran reguler pendidikan dunia. Indeks pendidikan tersebut dibuat dengan mengacu pada enam tujuan pendidikan EFA yang disusun dalam pertemuan pendidikan global di Dakar, Senegal, tahun 2000.
Saat ini Indonesia masih tertinggal dari Brunei Darussalam yang berada di peringkat ke-34. Brunai Darussalam masuk kelompok pencapaian tinggi bersama Jepang, yang mencapai posisi nomor satu dunia.
Adapun Malaysia berada di peringkat ke-65 atau masih dalam kategori kelompok pencapaian medium seperti halnya Indonesia. Posisi Indonesia jauh lebih baik dari Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos (109).
Total nilai EDI itu diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori penilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar (SD).
Penurunan EDI Indonesia yang cukup tinggi tahun ini terjadi terutama pada kategori penilaian angka bertahan siswa hingga kelas V SD. Kategori ini untuk menunjukkan kualitas pendidikan di jenjang pendidikan dasar yang siklusnya dipatok sedikitnya lima tahun.
Nahh seperti diatas lah berita yang saya kutip dari kompas.com, kembali ke topik pembicaraan..
Beberapa faktor penyebab masalah ini..
Pertama adalah generasi-generasi penerus bangsa itu sendiri. Hal ini menjadi faktor yang paling dominan. Karena, benih-benih yang lahir di tanah air tercinta kita inilah merupakan calon-calon penerus yang akan menggenggam nasib bangsa. Akankah ke masa depan yang positif, atau justru ke arah yang negatif. Itu semua tergantung kepada mereka.
Nha, sekarang kita coba untuk introspeksi diri, apa yang sudah kita lalukan untuk bangsa ini. Lalu apa yang juga terjadi pada bangsa ini? Mengapa kita cenderung menjadi manusia yang konsumtif dalam kehidupan, mengapa kita tidak bisa seperti negara-negara maju seperti Jepang yang bertindak produktif. Sebagai contoh konkretnya, misalkan begini, anak sekolah dasar di Indonesia atau SD di ajari untuk menggunakan barang-barang elektronik seperti HP, game, dll. Berbeda dengan anak sekolah dasar di negara Jepang, dengan usia yang relatif muda, meraka sudah diajari merakit alat-alat atau barang elektronik seperti HP, game, dll. Berbanding terbalik bukan, dengan keadaan di negara kita ini. Apakah karena kita belum bisa di setarakan dengan negara-negara maju seperti Jepang? Negara maju, sedangkan kita adalah negara berkembang yang masih membutuhkan proses. Jelas hal itu bukan alasan yang tepat untuk kita tidak bisa berdiri sama tinggi, duduk  sama  rendah dengan mereka. Justru perbedaan tersebut seharusnya mampu memberi  energi besar kepada kita untuk membuktikan bahwa kita mampu bersaing dengan mereka.
Mayoritas generasi Indonesia memilki kebiasaan malas yang lama-lama menjadi karakter buruk. Malas memainkan otak untuk bersaing, malas berusaha menyesuaikan perkembangan zaman. Cenderung primitif, tidak tau dan memang tidak ingin tahu tentang perkembangan di era globalisasi. Yang dipikirkan hanya bagaimana cara memperkaya diri. Kalau itu memang yang telah terjadi, ya jelaslah pendidikan Indonesia dikategorikan sebagai negara yang pendidikannya rendah. Jika  kondisi seperti itu tidak diperbaiki, dan bangsa ini tidak segera melakukan revitalisasi pembangunan sektor pendidikan, republik yang sedang murung dan bersedih hati ini akan menghadapi risiko dan bencana kenamusiaan yang dahsyat, berupa tersungkurnya sebagian besar rakyat yang pernah dikandung dan dilahirkan ibu pertiwi ini ke dalam lembah keterbelakangan budaya, peradaban, teknologi, dan seni. Sebagian kecil dari bahaya dan risiko itu telah di ungkapkan oleh Sheridan (1999:39) dalam Suyanto, Dinamika pendidikan Nasional.
Selanjutnya faktor yang tidak kalah penting adalah tenaga pengajar sebagai pembimbing di dunia kependidikan. Banyaknya guru atau dosen yang belum memenuhi persyaratan penentuan aspek input dan proses pendidikan.
  1. Guru TK sebanyak 137.069, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 12.929 orang (9,43%).
  2. Guru SD sebanyak 1.234.927, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 625.710 orang (50,67%).
  3. Guru SMP sebanyak 466.748, yang sudah meiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kuakifikasi pendidikannya baru 299.105 orang (64,08%).
  4. Guru sekolah Menengah sebanyak 377.673 , yang sudah meiliki kewenangan mengajar sesuai dengan dengan kualifikasi pendidikannya baru 238.028 orang(63,02%).
  5. Dosen perguruan tinggi sebanyak 210.210, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 101.87 orang (48,46%).
sumber: Prof. Suyanto, Ph.D “Dinamika Pendidikan nasional”
Lagi-lagi faktor yang  tak kalah penting adalah tersedianya fasilitas-fasilitas yang sangat mempengarui tinggi rendah, maju mundurnya suatu pendidikan. Berikut ini adalah data ruang kelas yang tidak layak pakai untuk proses belajar.
  1. Ruang kelas TK yang jumlahnya 93.629, yang kondisinya masih baik hanya 77.3999 (82,67%).
  2. Ruang kelas SD yang jumlahnya 865.258, yang kondisinya masih baik hanya 364.440. (42,12%)
  3. Ruang kelas SMP yang jumlahnya 187.480, yang kondisinya baik hanya 154.283 (82,29%)
  4. Ruang kelas SMA yang jumlahnya 124.417, yang kondisinya baik berjumlah 115.749 (93,07%)
sumber: Prof. Suyanto, Ph.D “Dinamika Pendidikan nasional”

Begitulah kondisi yang telah menimpa negara tercinta kita ini. Selain kondisi sekolah yang demikian, fasilitas pendukung lain sepertinya juga jauh dari yang diharapkan. Seharusnya fasilitas pendidikan bisa digunakan sebagai jembatan untuk memajukan pendidikan Indonesia..! Karena dengan begitu siswa atau pelajar pun tidak akan tertinggal oleh perkembangan pendidikan di dunia. Meskipun hal itu belum bisa diterapkan di Indonesia setidaknya standarkan semua lembaga pendidikan di Indonesia, karena di sanalah tempatnya para generasi penerus bangsa mencari ilmu atau pendidikan. Dan yang perlu diperhatikan lagi adalah studi banding, karena dengan kegiatan itu,  antara lembaga pendidikan bisa saling berbagi informasi pendidikan dan bisa meningkatkan kualitas dari masing-masing sekolah. Dengan kata lain meraka saling mencari referensi pendidikan.
Setelah ke semua faktor di atas dapat kita ketahui, pemerintah merupakan pendukung yang sangat penting bagi pendidikan di Indonesia. Tapi, kenyataannya di indonesia sektor pendidikan tidak menjadi prioritas dan unggulan bagi kebijakan nasional dalam meningkatkan SDM. Untuk menghindari risiko tersebut, pemerintah seharusnya menjadikan pembangunan sektor pendidikan sebagai ujung tombak bagi proses kebangkitan kembali bangsa ini. UNESCO (1998:22) yakin bahwa pendidikan memiliki peran yang unik untuk memberantas kemiskinan.
Sekarang, kita telah memiliki pandangan bukan bagaimana kita harus membawa nasib bangsa kita ini dalam derasnya arus globalisasi.
Semoga sedikit tulisan yang dapat saya paparkan ini, bermanfaat bagi kita semua terutama bagi generasi penerus bangsa, para pembimbing, dan tindakan pemerintah untuk memperbaiki pendidikan indonesia.
Karena, kalau bukan kita yang memperbaiki nasib bangsa, siapa lagi?
Majulah terus pendidikan Indonesia!!! Bukan tak mungkin oarng-orang besar seperti Albert Einstein dan para ilmuan besar lainnya yang mampu mengubah kehidupan bangsanya lahir dari tanah air tercinta kita yaitu INDONESIA.

Sumber: http://indonesiaberprestasi.web.id