Thursday, March 31, 2011

Fungsi Logika IF, AND, & OR

Saya menggunakan rumus ini pada saat saya kelas 2 SMP dan ketika Ujian Praktik, Semoga Bermanfaat...


KETERANGAN: LT adalah Logical Tesnya
Rumus If:
1.       Bertingkat: =IF(LT<=50,”buruk”,IF(LT<=60,”kurang”,IF(LT<=70,”cukup”,IF(LT<=80,”baik”,IF(LT<=90,”sangat baik”,”istemewa”)))))
2.       Untuk Diskon: =IF(LT>200000,LT-LT*5%,LT) atau =IF(<200000,LT,LT-LT*5%)

Rumus AND, akan menghasilkan TRUE jika semua benar, tapi FALSE jika salah satu atau semua salah.
Contoh: seseorang akan diterima bila umurnya  >=19 th, tinggi >=173 dan pendidikan min. SMA (3).
Maka Rumus yang digunakan : =AND (LT>=19;LT>=173;LT>=3)
Atau rumus gabungan IF dengan AND: =IF(AND(LT>=19;LT>=173;LT>=3); “DITERIMA”;”DITOLAK”)
Rumus OR, akan menghasilkan TRUE jika samua benar atau ada yang salah dan benar, tapi menghasilkan FALSE jika semua salah.
Rumus: penggabungan OR dengan IF : =IF(OR(LT 1;LT 2;…); “TRUE”;”FALSE”)
Rumus: penggabungan IF, OR, dan AND
Pola 1: IF(AND(OR(LT 1;LT 2;…); LT 2;LT 3;…);”TRUE”;”FALSE”)
Pola 2: IF(OR(AND(LT 1;LT 2;…); LT 2;LT 3;…); “TRUE”;”FALSE”)
Contoh soal IF dengan OR:Akan diterima pd panjat tebing bila memiliki min. 3 kelompok dan pengalaman 2 kali.
Maka Rumus yang digunakan : =IF(OR(LT>=3;LT>=2); “PANJAT”;”TURUN”)
Contoh soal IF, OR, dan AND: Diterima di SMA TL dengan persyaratan nilai BIN min.8 atau MTK min. 8, rata-rata min. 7,8.
Maka Rumus yang digunakan : =IF(AND(OR(LT>=8;LT>=8);LT>=8;LT>=8);”DITERIMA”;”TIDAK”)

Karya Ilmiah Pengelolaan Limbah Air

Ini merupakan karya ilmiahku yang aku buat untuk tugas Bahasa Indonesia, semoga bermanfaat ya...



PENGELOLAAN LIMBAH AIR DI PERUMAHAN 



Oleh: Eki Adetya Nugraha IXa




SMP BHAKTI PERTIWI
Jln. Pakuniran ( (0335) 774616
PAITON – PROBOLINGGO (67291)

Air merupakan suatu karunia tuhan yang memiliki peranan penting  dalam kehidupan semua makhluk hidup, baik manusia, hewan, dan tumbuhan. Air sangat membantu kehidupan makhluk hidup baik untuk mencuci, memasak, mandi, bahkan sebagai sarana irigasi di persawahan. ¾  dari tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorangpun dapat bertahan hidup tanpa air 4-5 hari. Air telah digunakan oleh orang-orang di seluruh didunia dari zaman prasejarah, sejarah, dan modern seperti saat ini. Kehidupan manusia memang tidak dapat dipisahkan dari air. Sebagai salah satu komponen abiotik dari lingkungan, air memang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan makhluk hidup dan penyeimbang ekosiem di alam yang sampai saat ini diketahui keberadaannya di bumi, tidak diplanet lain  di tata surya kita. Dengan kata lain karena air, Bumi menjadi satu-satunya planet yang memiliki kehidupan.

Secara teori, air merupakan persenyawaan antara satu atom oksigen (O) dengan dua atom hydrogen (H2), membentuk molekul H2O. Air menutupi sekitar 70% permukaan bumi. Air terdapat dalam berbagai macam bentuk misalnya uap air, es, cair, dan salju. Air dibedakan menjadi air tawar dan asin. Air tawar dapat ditemukan di sungai, danau, dalam tanah, dll. Air tersebut lalu akan mengalir ke laut menjadi lalu menguap hingga kembali lagi ke bumi melalui siklus hidrologi yang berlangsung secara continue. Air asin merupakan air yang berada di laut atau sekitar 97% dari jumlah total air didunia. Menurut Hefni Efendi: halaman 24-25menerangkan bahwa,” Lebih dari 97% air dimuka bumi ini merupakan air laut yang tidak dapat digunakan oleh manusia secara langsung. 3% persen air yang tersisa, 2% persen di antaranya tersimpan sebagai gunung es (glacier) di kutub dan uap air, yang juga tidak dapat dimanfaatkan secara langsung. Air yang benar-benar tersedia bagi keperluan manusia hanya 0,62%, meliputi air yang terdapat di danau, sungai, dan air tanah. Jika ditinjau dari segi kualitas, air yang memadai badi konsumsi manusia hanya 0,0003% air seluruh air yang ada.

Dan dizaman yang semakin modern seperti saat ini, air semakin diburu untuk memenuhi kebutuhan manusia. Misalnya sebagai bahan baku industry minuman dalam kemasan dan pemenuhan kebutuhan air di kota besar terutama gedung-gedung besar yang mengambil air secara besar-besaran. Tidak hanya gedung-gedung, perumahan penduduk juga mengambil banyak air dari tanah.Tentu saja hal tersebut menimbulkan dampak negative bagi kualitas lingkungan, terutama penurunan kualitas air dan penurunan permukaan air tanah. Penurunan kualitas air tersebut diakibatkan oleh ketidakmampuan air dan alam untuk untuk memulihkan diri dari kerusakan (pencemar).

Pencemaran  biasanya disebabkan oleh masuknya polutan ke badan air. Polutan dapat berupa bahan terlarut maupun gas. Masuknya polutan tersebut bisa secara alami ataupun tidak alami. Dan penuruna permukaan tanah disebabkan karena pengambilan air secara besar-besaran. Menurut Hefni Efendi: halaman 196menerangkan bahwa,” Berdasarkan cara masuknya kelingkungan, polutan dikelompokkan menjadi dua, yaitu polutan alamiah dan polutan antropogenik. Polutan alamiah adalah polutan yang memasuki suatu lingkungan (misalnya badan air) secara alami misalnya akibat letusan gunung berapi. Polutan antropogenik adalah polutan yang masuk badan air akibat aktivitas manusia, misalnya kegiatan domestic (rumah tangga), kegiatan urban (perkotaan), maupun kegiatan industry.” Menurut J. Kodoatie & Roestam Sjarief: halaman 33menerangkan bahwa,” Pengambilan air tanah secara berlebihan mengakibatkan menurunnya permukaan air tanah (land subsidence). Penurunan permukaan air tanah akan mengakibatkan pengurangan gaya angkat tanah sehingga terjadi peningkatan tegangan efektif tanah. Akibat meningkatnya tegangan efektif ini akan menyebabkan penyusutan butiran tanah sehingga terjadi penurunan tanah (Terzhagi, 1969). Jadi penurunan terjadi karena pengambilan air tanah sekaligus peningkatan tegangan efektif secara simultan.”
Di perumahan sendiri, limbah air berasal dari sisa pencucian, mandi, maupun kotoran manusia. Apabila pengelolaan air limbah tersebut tidak dilakukan dengan baik dan maksimal, akan menyebabkan dampak negative bagi lingkungan dan kesehatan. Diantara dampak negative pengelolaan limbah air rumah tangga bagi linggungan adalah timbulnya masalah seperti bau dan pemandangan yang kurang indah. Sedangkan bagi kesehatan, diantaranya timbulnya penyakit seperti tipus, disentri, kolera, dll.

Untuk mengurangi masalah pencemaran air dilingkungan dan penurunan permukaan tanah  khususnya perumahan maka perlu adanya sistm pengelolaan air di perumahan. Agar tidak mencemari dan membahayakan kesehatan lingkungan.  Menurut Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief: halaman 349 menerangkan bahwa,” UU No. 7 tahun 2004 menyebutkan bahwa: Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air.” Pengelolaan air di daerah perumahan dapat dilakukan dengan membuat sanitasi yang baik, selain itu juga dapat dilakukan dengan membuat  lubang biopori dan penyaringan air sebagai upaya pengelolaan air atau limbah air rumah tangga.

SANITASI di PERUMAHAN
          Sanitasi sangat diperlukan dalam pengelolaan air di perumahan karena fungsinya
sebagai pembuangan limbah. Pembuatan sanitasi bertujuan agar air di sekitar perumahan tidak menimbulkan gangguan kepada masyarakat di perumahan tersebut. Karena hamper semua limbah cair yang berasal dari rumah tangga dibuang langsung dan bercampur menjadi satu ke badan sungai atau laut, ditambah lagi dengan kebiasaan masyarakat terutama di pedesaan dan pedalaman yang melakukan kegiatan MCK di bantaran sungai. Akibatnya, kualitas air sungai menurun dan apabila digunakan untuk air utama untuk keperluan masyarakat harus diolah terlebih dahulu dan memerlukan biaya yang besar.

          Di Indonesia, penyakit-penyakit yang ditularkan oleh serangga yang berkembang biak di sekitar lingkungan dengan sanitasi buruk adalah demam berdarang dengue (DBD), malaria, kaki gajah, dan chikungunya. Selain itu lingkungan dengan sanitasi buruk menyebabkan penyakit yang menyerang sistem pencernaan diantaranya kolera, disentri , dan demam tifoid dan paratifoid yang ditularkan secara mekanis oleh lalat rumah.

          Menurut Dr. Budiman Chandra: halaman 165 menerangkan tentang ciri-ciri rumah sehat, yaitu,” Memiliki sumber air bersih dan sehat serta tersedia sepanjang tahun, memiliki tempat pembuangan kotoran, sampah, dan air limbah yang baik, dapat mencegah terjadi perkembangbiakan vector penyakit, seperti nyamuk, lalat, tikus, dan sebagainya, Letak perumahan jauh dari sumber pencemaran  (mis., kawasan industry) dengan jarak minimal sekitar 5 km dan memiliki daerah penyangga atau daerah hijau (green belt) dan bebas banjir.”

          Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa salah satu cirri rumah sehat adalah memiliki tempat pembuangan kotoran, sampah, dan air limbah yang baik. Dalam pengelolaan tinja, WHO lebih menganjurkan sistem Sanitary Latrines yang dibagi menjadi enam macam, yaitu Bore Hole Latrine, Dug Well Latrine, Water Seal Type of Latrine, Septic Tank, Aqua Privy, dan Chemical Closet. Sedangkan yang lebih dipilih oleh individu atau rumah tangga dan lembaga yang memiliki suplai air cukup tapi tidak memiliki hubungan dengan sistem penyaluran kotoran masyarakat di Indonesia adalah septic tank. Metode Septic Tank Double Chamber (memiliki dua ruangan) lebih baik dibandingkan dengan septic tank biasa karena air kotor tidak langsung dialirkan ke selokan tetapi masuk ke rungan dua dan mengalami proses purifikasi secara alamiah. Model ini dapat bertahan sampai 10-15 tahun serta tidak mencemari sumur yang ada disekitarnya. Sedangkan sistem pembuangan limbah cair dianjurkan dengan menggunakan tempat lain yang dipisahkan dengan pembuangan tinja. Dan keduanya berjarak minimal 10 meter dari sumur atau sumber air rumah tersebut.

 LUBANG BIOPORI
          Dikawasan pemukiman dimana permukaan resapan alami sangat terbatas, perlu diperluas dengan menambah permukaan vertical kedalam tanah caranya, dengan membuat lubang biopori. Biopori adalah pori tanah yang besar yang akan mempercepat peresapan air kedalam tanah. Bila di dalam tanah tersedia cukup bahan organic, perakaran/pertumbuhan akar tanaman dapat dengan mudah berkembang dan menembus tanah. Fauna/organism di dalam tanah pun dapat berkembag biak dan beraktifitas menembus liang di dalam tanah.

          Lubang biopori biasa dibuat di daerah yang memiliki sedikit ruang terbuka hijau yang bertujuan mengelola air hujan agar dapat masuk ke dalam tanah dan tersimpan di dalamnya. Pembuatan lubang biopori, dapat dilakukan dengan cara membuat lubang vertikal ke dalam tanah. Lubang biopori dibuat dengan diameter relative kecil untuk efisiensi penggunaan permukaan lahan yang semakin sempit. Lubang diisi sampah organic, sehingga fauna/organisme yang tinggal ditanah akan terpikat masuk kedalam tanah untuk berlindung, memakan sampah organic, dan membentuk biopori. Limpasan permukaan akan masuk kedalam lubang dan meresap ke segala arah melalui biopori sekitar lubang.

`Menurut Kamir R. Brata & Anne Nelistya: halaman 17-18 menerangkan bahwa,” Laju peresapan air dalam LRB akan meningkat seiring waktu karena bertambahnya biopori yang terbentuk, sehingga proses pelapukan sampah organic di dalam lubang dalam suasana cukup oksigen (aerobic). Air lindi/air yang keluar dari sampah (leachate) yang terbentuk segera diserap tanah menjadi perekat agregat dan pori tanah.” Dengan pemanfaatan sampah organic ke dalam LRB dikawasan pemukiman, sampah rumah tangga tidak perlu dikumpulkan ke TPS, sampah dari dapur dapat langsung dimasukkan ke LRB. Sampat tersebut dapat keanekaragaman hayati dalam tanah dan disintetis menjadi humus dan kompos.

           Lubang biopori memiliki berbagai manfaat. Menurut  Kamir R. Brata & Anne Nelistya: halaman 25 menerangkan bahwa,” Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan LRB, terutama dalam menciptakan lingkungan hidup yang nyaman dan lestari. Yaitu, memperbaiki ekosistem tanah, mempercepat peresapan air hujan, mengatasi sampah organic, dapat mencegah timbulnya genangan air dan banjir, menjauhkan dari bencana erosi dan longsor, dapat meningkatkan kesuburan tanah, dan dapat meningkatkan cadangan air bersih.”

 PENYARINGAN AIR

            Sebenarnya air dan alam memiliki kemanpuan memulihkan diri. Coba perhatikan ! Tuangkan air putih ¾ penuh kedalam sebuah gelas bening besar. Teteskan pewarna merah padanya. Tunggu beberapa saat. Warna merah akan hilang, dinetralkan oleh air. Air mampu memulihkan diri. Teteskan kembalai pewarna merah beberapa tetes. Biarkan beberapa saat. Ulangilah hal yang sama. Anda akan mendapati warna merah tetap ada dan air tidak bias jernih kembali. Ya itulah, Air telah kehilangan kemampuannya memulihkan diri.
Ketika air telah kehilangan kemampuannya untuk memulihkan diri, manusia masih memiliki harapan untuk memperoleh air yang baik. Yaitu dengan penyaringan air terhadap air bekas atau air yang tidak dapat dipergunakan menjadi air yang layak dipergunakan. Air saat ini sudah mulai menjadi bahan langka, bahkan di daerah pedesaan yang tandus dan perkampungan di kota-kota besar, mendapatkan air bersih sama seperti mendapat durian runtuh.
Dengan alat-alat yang relatif sederhana, kita bisa melakukan penyaringan air secara sederhana, namun terbukti cukup ampuh untuk sekedar mendapatkan air untuk keperluan minum sehari-hari dan kebutuhan lainnya.
Keuntungan dari pernjernih air sederhana ini adalah, kita bisa menggunakan air sawah, air payau maupun air sungai yang keruh. Namun harus diingat, ini adalah cara darurat dalam mendapatkan air bersih. Untuk keperluan air minum, Anda harus memasak dahulu air yang sudah dijernihkan ini sampai mendidih. Selain itu, bahan untuk penjernihan air harus sering diganti, karena kotoran yang mengendap akan semakin tebal dan efektivitas penjernihan air akan semakin berkurang. Menurut Onny Untung: halaman 13 menerangkan bahwa,” Sebaiknya pembersihan media penyaring tidak dilakukan terlalu sering. Tujuannya agar bakteri pengurai yang tumbuh di media bisa bertambah banyak, sehingga proses penyaringan perjalan lebih bagus. Agar meia penyaring tidak cepat ditumbuhi lumut, tutup bagian atas bak penyaring.”
Pembuatan
1. Sediakan sebuah bak atau kolam dengan kedalaman 1 meter sebagai bak penampungan.
2. Buat bak penyaringan dari drum bekas. Beri kran pada ketinggian 5 cm dari dasar bak. Isi dengan ijuk, pasir, ijuk tebal, pasir halus, arang tempurung kelapa, baru kerikil, dan batu-batu dengan garis tengah 2-3 cm (lihat Gambar)
Penggunaan
1. Air sungai atau telaga dialirkan ke dalam bak penampungan, yang sebelumnya pada pintu masuk air diberi kawat kasa untuk menyaring kotoran.
2. Setelah bak pengendapan penuh air, lubang untuk mengalirkan air dibuka ke bak penyaringan air.
3. Kemudian kran yang terletak di bawah bak dibuka, selanjutnya beberapa menit kemudian air akan ke luar. Mula-mula air agak keruh, tetapi setelah beberapa waktu berselang air akan jernih. Agar air yang keluar tetap jernih, kran harus dibuka dengan aliran yang kecil.
Pemeliharaan
1. Ijuk dicuci bersih kemudian dipanaskan di matahari sampai kering
2. Pasir halus dicuci dengan air bersih di dalam ember, diaduk sehingga kotoran dapat dikeluarkan, kemudian dijemur sampai kering.
3. Batu kerikil diperoleh dari sisa ayakan pasir halus, kemudian dicuci bersih dan dijemur sampai kering.
4. Batu yang dibersihkan sampai bersih betul dari kotoran atau tanah yang melekat, kemudian dijemur.
Setelah masyarakat tahu cara pengelolaan air yang benar dan mau melaksanakannya maka pencemaran air di perumahan penduduk pun dapat dikurangi. Sehingga apabila pengelolaan air di masyarakat baik maka air dapat member manfaat kepada masyarakat. Selain itu pemerintah khususnya Badan Lingkungan Hidup (BLH) memberikan penyuluhan tentang pentingnya penelolaan air untuk menciptakan lingkungan yang bersih, asri, sehat, dan layak dihuni.



Daftar Pustaka
Efendi, Hefni. 2003. TELAAH KUALITAS AIR. Yogyakarta: Kanisius.
Chandra, Dr. Budiman. 2005. PENGANTAR KESEHATAN LINGKUNGAN. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
Kodoatie, Robert J.  & Roestam Sjarief. 2010. TATA RUANG AIR. Yogyakarta: Andi.
Untung, Onny. 2008. MENJERNIHKAN AIR KOTOR. Jakarta: Puspa Swara, Anggota IKAPI
R.Brata, Khamir & Anne Nelistya. 2008. LUBANG RESAPAN BIOPORI. Jakarta: Penebar Swadaya

Saturday, March 19, 2011

Tips Memilih Keyboard

Saya kerap kali mendapat pertanyaan dari orang-orang yang hendak membeli keyboard untuk pertama kali; yaitu merk dan type keyboard apa yang paling bagus?
Jawaban atas pertanyaan ini relatif, tergantung dari tingkat kebutuhan dan bujet yang anda miliki.

Untuk Bujet di bawah 5 juta rupiah, maka saya merekomendasikan keyboard merk Casio. Alasannya, untuk kisaran harga tersebut Casio sudah memberikan fitur yang sebanding dengan keyboard-keyboard lain (semisal Yamaha) dengan harga di atas 7 juta rupiah.
Walaupun memiliki kekurangan dalam hal kualitas suara dan material, namun untuk kebutuhan rumahan rasanya tidak akan mengecewakan. Kelebihan yang lain, untuk seri Casio CTK keluaran terbaru rata-rata semuanya sudah di lengkapi dengan fitur pelajaran keyboard dan piano di dalam memori internalnya.

Untuk Bujet 5 s/d 10 juta rupiah, maka pilihannya jatuh pada Yamaha. alasannya, pada kisaran harga ini Yamaha memberikan branding, fitur dan kualitas suara yang cenderung stabil. Pilihan yang lain adalah KORG atau Tehnic second hand (jika anda bisa mendapatkannya dan mau mengambil resiko).
Seperti halnya Rolland, KORG tidak akan mengecewakan dalam hal kualitas suara sehingga aman digunakan untuk keyboard tunggal dan pertunjukan band sekalipun.
Sedangkan Tehnic adalah keyboard cerdas yang sangat nyaman di gunakan untuk keyboard tunggal. Kekurangannya adalah jika rusak layanan servicenya sulit di temui.

Untuk bujet di atas 10 juta maka pilihannya adalah Yamaha, Rolland dan KORG. Tinggal tergantung pada kebutuhan dan selera anda. Karena pada kisaran harga ini hampir semua merk telah memberikan kualitas dan fitur yang sebanding.
Namun sebagai gambaran, saya akan memilih Yamaha untuk hiburan di rumah, KORG untuk bermain band, dan Rolland untuk musik arranger dan recording.

Jadi, seperti yang telah saya katakan di awal: semuanya kembali pada apa yang anda butuhkan dari sebuah keyboard.


Sumber: http://belajar-keyboard.blogspot.com/2010/07/tips-memilih-keyboard.html

Friday, March 18, 2011

Angklung di Indonesia


Oleh : Obby AR. Wiramihardja
Ketua Umum Masyarakat Musik Angklung
(MMA – Angklung Music Aociety)
Indonesia Negara tercinta adalah sebuah Negara dimana bambu tumbuh dimana-mana, dimulai dari sabang di sebelah barat dan Merauke di sebelah timur.
Untuk itu tidaklah aneh bila bangsa Indonesia mengatakan bahwa bambu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa kita sehari-hari.
Pernah suatu saat seorang asing yang telah mengunjungi berbagai tempat dinegara kita ini berkata bahwa bangsa Indonesia itu merupakan bangsa yang aneh; karena mereka membangun rumah mereka dari bambu, dimulai dari lantai, dinding, atap, tiang, juga peralatan dapur dan kebutuhan sehari-hari semua dari bambu, bahkan makan pun mereka makan bambu muda, dimana Negara kita terkenal dengan rebung.
Bahkan didalam merebut, membela dan mempertahankan Negara dari tangan penjajah”bambu” tidak sedikit berperan andil (bambu runcing) dan malah sampai waktu meninggal pun bambu berperan penting (usung jenazah).
Hal lain yang menarik, bahwa Indonesia pun pandai membuat alat musik sendiri terbuat dari bambu (suling, calung, munsang, clempung, rengkong, angklung, hatong, dan lain sebagainya).
MASA LALU MUSIK BAMBU
Sejak kapan timbulnya musik yang di buat dari bambu di Indonesia, tidak dapat keterangan yang jelas. Beberapa ahli, seperti J. Kunst (Mr. J dan C.J A Kunst “Musical Exploration in the Indian Archipelago” dalam Asiatic Review, Oktober 1936, hal.814 dan Will G. Gilbert Muziek uit Oost-en West, Inleiding tot de Inchemsche Muziek van Nederlandsch Oost-en West India, (tidak bertahun) hal.9-10) berpendapat, bahwa beberapa alat musik bambu berasal dari masa sebelum adanya pengaruh Hindu. Menurut dugaan mereka, permulaan berkembangnya alat musik dari bambu di Indonesia sangat erat hubungannya dengan perpindahan penduduk dari daratan Asia yang kemudian menjadi nenek moyang suku-suku Melayu Polinesia, beberapa Melanium sebelum Masehi. Dari bukti-bukti yang dapat dikumpulkan, dengan terdapatnya alat musik dari bambu yang sama bentuknya di Asia Tenggara, dugaan tersebut dapat di terima. Sebagai contoh, alat musik bambu berdawai yang di Sulawesi Selatan disebutGandrangbulo, di Priangan terkenal dengan sebutan Celempung, di Jawa Tengah disebut Gumbeng atauGumbeng Jebah, di Bali dinamai Guntang.
Alat seperti itu, dengan berbagai variasinya antara lain terdapat di Siam Utara (Hugo A. Bertzik, Die Gaister der Gelben Blutter 1938, hal. 174); di Laos (A. Schaeffoer, Origine des Instrumente de Musque, 1938 hal. XII.
Di Kamboja dikenal dengan sebutan Dianglye (Curt Sachs), Die Musikinstrumente Indies und Indonesiens, 1915 hal. 97. Di beberapa tempat di Malaysia biasa disebut Gendang Batak (Hendry Balfour, Musical Instruments from Melay PeninsulaAntropology, part 11, 1954 hal. 17; Orang-orang Sakai menyebutnya Krob, orang semang menyebutnya Amang (M. Kelsinki, “Die Musik der Primitiv Stamme auf Malaka” Anthrops, XXV, 1930 hal. 591.
Demikin pula di berbagai daerah di Indonesia, dengan berbagai variasi dan bentuk dan penamaan terdapat alat musik dari bambu berdawai.Bahkan di Madagaskar, menurut Sachs, (Curt Sachs, Les Instrumente de Musique de Madagascar, 1938 hal. 51) alat seperti itu terdapat pula, dikenal dengan sebutan velihaverdiha (na) atau marovany.
Dengan adanya persamaaan bentuk dari bambu sebagaimana dikemukakan di atas, yang dapat dikatakan salah satu ciri persamaan selera dari kebudayaan yang sama pendukungnya, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa perkembangannya musik bambu di Indonesia erat kaitannya dengan perpindahan nenek moyangnya dari daratan Asia. Perpindahan yang dimaksud mungkin sekali perpindahan gelombang pertama, yakni perpindahan suku Negri to Weda yang terjadi pada zaman Mesolitikum, bahkan tidak mustahil sebelumnya. Sebagaimana dimaklumi sebelum adanya perpindahan suku bangsa Palaeo Mongolid di Nusantara sudah ada suku-suku bangsa yang menetap yang juga berasal dari daratan Asian yang kini sisa-sisanya antara lain adalah pendududk asli Irian (M. Amir Sutarga, “Tjiri-tjiri Antopologi Fisik dari penduduk pribumi” dalam buku : Penduduk Irian Barat, dbawah redaksi Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar, 1963, hal. 22-23). Penduduk Irian ternyata memiliki berbagai alat musik dari bambu, antara lain yang bentuknya seperti di kenal di Pasundan dengan sebuahKerinding, di Jawa Tengah dan di Jawa Timur disebut Rindhing atau Genggong, dan Bali disebutGinggung. Alat seperti ini dapat ditemui di berbagai tempat di Irian, seperti di sekitar Jambi, Tarung Garem Awembiak, Den Dema, di sekitar Gunung Jaya Wijaya dan di Hulu sungai Apauwar. Periksalah lebih lanjut : L.M. d’Alberts, New Guena, jilid I, hal. 359; W.N. Beaver, A description of the Ciraca District, western Papua, jilid III, 1914 hal. 407, R. Parkinson, Im Bismarck Arcchipel, Erlehnisse und Beobachtungen auf der Insel Neu Bommen, 1887 hal. 122; Curt Sachs, Geist und Werden der Musikinstrumente, 1929, jilid III, gambar No.59; G.A.J van der Sande, Uitkomsten der Nederlandsche Niew Guenia Expeditie onder leiding van Prof. A. Wichman, jilid III; ch. Le Roux, “Expeditie naar het Nassaugebergie in Cental Noord Nieuw guinea”, TBG LXVI, hal. 447-513, 1926; Dr. J. Kunst, A Sturly on Papuan Music, peta lampiran “Distribution of Musical Instruments in New Guinea and the Adjacent Islands, 1931.
Dengan dikenalnya alat musik dari bambu oleh penduduk pedalaman Irian Jaya yang dapat dikatakan sebagai monument kebudayaan zaman Batu Tua, dapatlah kiranya diterima pendapat, bahwa alat musik dari bambu di Indonesia sudah berkembang sejak zaman itu. Jadi tidak seperti pendapat Will Gilbert, yang menyebutkan berkembangnya musik bambu di Indonesia sejalan dengan perpindahan penduduk dari daratan Asia……… eerste millennium v. Christ (Will G. Gilbert, op.cit, hal.20) atau seribu tahun sebelum Masehi, melainkan jauh sebelum itu, mungkin antara 10.000 sampai 5.000 tahun sebelum perhitungan tahun Saka. Pada zaman itu kebudayaan setingkat dengan orang Tasadi, suatu suku terasing di pedalaman Mindanau (Filipina) yeng belum mengenal logam dan cocok tanam dan masih hidup di goa-goa. Orang Tasadi juga mengenal alat musik bambu, yakni alat musik bambu berdawai yang mereka namai kubing. Sebagaimana dimaklumi orang Tasadi ini baru ditemukan dan teradi kontak dengan orang luar lingkungan mereka pada tahun 1971.
Alat-alat musik bambu yang tampak pada relief Candi Borobudur dan candi-candi yang lain, dari bentuk dan jenisnya menunjukan adanya pengaruh hindu, seperti Bangsing, (suling lintang, wangsi). Sedang alat-alat yang sudad ada sebelumnya, seperti alat musik berdawai dan sebagainya, tidak digambarkan. Gambang bambu seperti yang digambarkan pada relief Borobudur dan teras depan Prambanan, sampai sekarang masih merupakan alat musik sacral di kalangan penganut agama Hindu di Bali. Di beberapa pura tua, seperti di pura Kelaci Denpasar, terdapat gambang demikian yang kelihatan sudah sangat tua. Alat itu biasa dipergunakan dalam upacara-upacara penting terutama dalam Pengaben.
Sebagai makhluk yang berakal, bagaimanapun sederhanaya, dalam mencukupi hajat kebutuhannya, nenek moyang bangsa Indonesia sejak zaman purba telah memanfaatkan bahan yang mudah didapat dan dibuat alat, yaitu bambu.
Perubahan bentuk dan peningkatan mutu alat-alat musik dari bambu tampak sangat lamaban, bahkan ada yang sama sekali tidak mengalami perubahan. Di beberapa daerah dewasa ini masih terdapat alat musik dari bambu yang hanya berupa ruasan bambu yang dibunyikan dengan cara ditumbuk-tumbukan pada sebuah papan, seperti Garantang di Tohpati Kasiman, Bali. Ada pula yang ditabuhnya dengan dipukul dengan pemukul dari kayu, seperti Guyonbolon di Banjaran, Bandung Selatan. Tongtong atau kentongan, bambu tersebar diberbagai daerah di Indonesia. Di daerah Sumenep, Madura, Tuk-tuk, biasa digunakan sebagai bunyi-bunyian pengiring karapan Sapi, dilengkapi dengan Sronen, semacam terompet yang tabungnya dibuat dari bambu pula. Tennong di Pangkajene, Sulawesi, adalah sebuah alat bambu sederhana pula, berbentuk bilahan bambu sebanyak 4 buah, dijajarkan di atas paha pemainnya. Dalam hal ini paha berfungsi sebagai penyangga dan sekaligus menjadi resonator.
Menurut keterangan dari orang tua setempat, Tennong biasa dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu rakyat di Pangkajene Kepulauan.
Di sekitar Cakung-Jakarta Timur, alat musik semacam Tennong, tetapi dilengkapi dengan penyangga dari gedebong pisang di sebut Sampyong, biasa digunakan sebagai Ujungan atau Tari Uncul.
Alat musik dari bambu yang mengalami perkembangan yang wajar adalah suling. Hampir disetiap suku bangsa di Indonesia mengenal dan memiliki suling dengan berbagai bentuk dan jenis, serta fungsi. Contohnya di Pasundan terdapat semacam suling yang disebut SurilitTaleotHarongHatong Renteng,Hatong SekaranEletCalintu, dan Bangsing.
Diantara berbagai macam suling terdapat pula yang digunakan sebagai alat musik yang berhubungan dengan adat kepercayaan setempat, seperti Suling Lombang, di Tanah Toraja. Suling dapat memebawakan lagu-lagu sedih yang menyayat hati, atau lagu-lagu yang menggembirakan pendengarnya. Dapat pula dibawakan lagu-lagu syahdu berjiwa keagamaan. Itulah mungkin antara lain sebabnya di Maluku suling diperkembangakn sebagai alat musik Gerejani. Di Ambon dan Lease nyanyi-nyanyian Jemaat Gereja biasa diiringi Orkes Suling, yang dibawakan oleh sejumlah pemuda.
Menurut pendapat Dr. Th. Muller Kruger, bila dibandingkan dengan iringan orgel-orgel kecl yang dipakai oleh kebanyakan jemaat-jemaat di Indonesia, orkes suling bambu jauh lebih baik dan bermanfaat. Alat-alatnya mudah dibuat sendiri dari bahan yang banyak terdapat di Indonesia. Sedang Orgel harus dibeli dengan harga yang mahal dari luar negeri. Taraf musiknya pun orkes suling bambu tidak kurang indahnya dari orgel. Manfaatnya untuk kehidupan gerejani banyak pula, sebab dengan digunakannya orkes suling bambu para pemuda mendapat tugas dan tanggung jawab dal kebaktian-kebaktian. Orkes suling bambu di Maluku dikembangkan oleh Jozef Yam, seorang domine yang disana dikenal dengan sebutan “Rasul Maluku” yang melakukan pekabaran Injil di Indonesia bagian timur sejak tahun 1816 (Dr. Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, 1966 hl. 95).
Rupanya di Filipina suling bambu sebagai alat musik Gerejani pernah ditingkatkan lagi bentuknya, yakni disusun sebagai organ. Sebuah organ bamboo yang dibuat tahun 1819 dibawah pengawasan seorang Rahib Ahustin di beritakan pada tahun 1973 dalam keadaan rusak berat, sehingga untuk perbaikinya diperlukan danma sebesar 64.000 dollar Amerika (Harian Umum Berita Buana, 13 Juni 1973 hal. 4). Hal ini saya kemukakan sekedar memberikan gambaran betapa besar apresiasi ,asyarakat tetangga kita itu terhadap alat musik bambu yang telah dikembangkan.
Alat musik bambu lainnya yang mengalami berbagai pasang surut dalam perkembangannya adalah angklung, sebagaimana akan kita tinjau bersama.
PASANG SURUT ANGKLUNG
1. Data Tertulis Peninggalan Masa Lalu
Sejak kapan angklung muncul dan berkembang, merupakan pertanyaan yang saya tidak dapat menjawabnya dengan pasti. Menurut perkiraan Dr. Groneman, sebelum berkembangnya pengaruh Hindu di Indonesia Angklung sudah merupakan alat musik yang digemari penduduk (Dr. J. Groneman. “De Gamelan to Jogjakarta, Letterkundige Vehadelingen der Koninkl, Akademi, jilid XIX, hal. 4).
Sebagai alat musik pra Hindu, Angklung tidak digambarkan pada candi Borobudur dan Prambanan, sebagaimana halnya alat musik bambu lainnya yang sudah  berkembang sebelum zaman zaman Hindu di Indonesia, misalnya alat musik bambu berdawai.
Dalam literature kuno pun saya tidak atau belum menemukannya, Kekawin Arjunawiwaha yang diperkirakan ditulis sekitar tahun 1040 hanya menyebut-nyebut Sundari (semacam erofon yang di Jawa Barat dikenal dengan sebutan Sondari, di Bali Sundaren). Calung yang dewasa ini terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah, disebut-sebut dalam Inskripsi Buwahan yang diperkirakan dibuat sekitar tahun 1181.
Guntang alat musik bambu berdawai yang penyebarannya meliputi Asia Tenggara sampai Madagaskar, dan sampai sekarang di Bali tetap disebut Guntang, terdapat dalam Kekawin Kidung Sunda yang diperkirakan ditulis tidak lama setelah tahun 1357. Alat yang di Priangan disebut Pancurendang, di Jawa Tengah disebut Bluntak, dan di Bali disebut Taluktak, disebut-sebut dalam kekawin Bharata Yuda.Tongtong atau kentongan bambu disebut-sebut dalam Sudhamala dengan Kulkul, dalam Samarandana disebut Titiran, dan dalam Bharata Yudha disebut Kukulan. Baru dalam tulisa-tulisan kemudian seperti dalam serat Cebolang, Angklung disebut-sebut, yaitu waktu melukiskan saat Mas Cebolang mempertunjuknan keahliannya menyanyi dan bermain musik didepan Bepati Dhaha Kediri.
2. Fungsi Angklung Tradisi
Angklung yang dibunyikan dengan cara digoyang-goyangkan adalah termasuk golongan lonceng. Seperti lonceng, angklung bersifat khidmat serta biasa digunakan dalam hubungan kegiatan ritual. Di beberapa tempat di Bali angklung biasa digunakan khusus dalam upacara Pengaben (pembakaran mayat). Namun dewasa ini hal itu terbatas pada kelomopok penduduk yang tidak memiliki angklung metalopon, seperti penduduk Banjar Tegalingah, Karangasem.
Orang Baduy di Kanekes , Bnaten Selatan, mempergunakan angklung sebagai alat musik upacara pada waktu menjelang menanam padi di ladang, sebutannya Angklung Buhun.
Angklung Gubrag di kampong Jati, Serang, dianggap alat musik sacral, untuk mengiringi mantera pengobatan orang sakit atau menolak wabah.
Seperti halnya di Kanekes, di sekitar Kulon Progo terdapat angklung yang digunakan dalam upacaraBersih Desa, permulaan musim menggarap sawah, disebut Angklung Krumpyung. Demikina pula di desa Ringin Anca dan Karangpatian, Ponorogo, upaca Bersih Desa biasa diiringi Orkes Angklung.
Pada umumnya dewasa ini di berbagai tempat, angklung merupakan alat kesenian yang profan, seperti halnya di Madura. Di pulau itu, sepanjang pengetahuan saya angklung hanya terdapat di Desa Keles, Kecamatan Ambuten, dan di desa Biuto, Kecamatan Srunggi, keduanya termasuk wilayah kabupaten Sumenep, biasa digunakan untuk memeriahkan arak-arakan.
Menurut keterangan, dahulu di beberapa tempat di Kalimantan Barat terdapat angklung, yang contohnya tersimpan dalam Museum Insdisch Institut di Negeri Belanda, tercatat dalam katalogus No. 1297/1-2 dan 1767/1-3.
Akan tetapi dewasa ini menurut beberapa tokoh kebudayaan dan pejabat-pejabat Kanwil Depdikbud Kalimantan Barat, di wilayah itu tidak terdapat lagi angklung tradisional.
Di Kalimanatan Selatan sekarang masih terdapat angklung tradisional yang dikenal dengan sebutan Kurung-kurung, biasanya digunakan untuk mengiringi pertunjukan Kuda Gepang (Sie) yang bentuk dan cara pertunjukannya hampir sama dengan Kuda Kepang di Jawa Tengah.
Menurut keterangan, Kata Gepang disini berarti gepeng atau pipih. Jadi berlainan dengan arti anyaman, walaupun bentuk dan kuda-kudanya sama, yaitu terbuat dari anyaman bambu.
Di Lampung pada masa-masa yang lalu terdapat pula angklung tradisional, yang contohnya dipamerkadi Museum Leidan, Negeri Belanda dengan katalogus No. 40/58. Namun sekrang sulit untuk mendapatkan keterangan mengenai angklung tradisional di wilayah tersebut, kecuali yang dikembangkan oleh beberapa kelompok transmigran dari Jawa.
3. Perubahan Sifat dan Fungsi
Sebagaimana telah dikemukakan, hampir tidak ada keterangan tertulis autohtonis dari angklung pada masa dahulu, yang terdapat hanyalah cerita-cerita lisan, sebagaimana terdapat dalam beberapa cerita rakyat di Kanekes, Banten Selatan yang biasa dibawakan dalam bentuk pantun. Menurut cerita di sana, pada masa kebesaran Pajajaran, kerajaan di Pasundan, disamping sebagai alat musik upacara pertanian, angklung biasa digunakan sebagai alat musik angkatan bersenjata, semacam Marching Band.
Melihat cara-cara permainan angklung di Banten selatan dan di beberapa tempat Priangan, demikian pula peranannya dalam pertunjukan Reog Ponorogo dan permainan Kuda Kepang, kemungkinan dipergunakannya angklung sebagai alat musik tidaklah mustahil.
Hal itu dinyatakan oleh beberapa pengamat Belanda, antara lain seorang dengan initial G.J.N., dalam zaman INDIE tahun pertama, No. 21, 22 Agustus 1917 hal.330 tentang angklung di Priangan, dengan tegas mengatakan : “En geen wonder : de angkloeng is militaire muziek” (“dan tidak mengherankan: angklung memang musik militer”).
Demikian seorang dengan naman samaran “Bianca” dalam majalah de ORIENT No. 52, 24 Desember 1938, tentang angklung sunda antara lain menulis; Over het algemeen draagt angkloeng muziek een opwekkend en vroolijk karakter, maar het heft ook zijn krijgslystige en mystiekezijde (“pada umumnya musik angklung menggairahkan dan menggembirakan, tetapi juga dapat menimbulakan semangat perjuangan dan mistik”).
Penulis lain yang anonim adalah majalah WOLANDA HINDIA tahun ke-12 No.6, 1939, setelah menyaksikan beberapa pertunjukan angklung Priangan, antara lain menulis: Dat deze muziek indruk op de beveling maakt, is bewezen. Zij beluisteren in de klanken krijgsmuziek, tewijl daartegen over bij anderen zinnelijke aandoeningen worden opwekt” (Bahwa musik ini maksudnya musik angklung, pen) dapat menimbulkan kesan mendalam bagi penduduk, cukup terbukti. Mereka mendengar musik parang dalam bunyinya, sedang bagi yang lain menimbulkan emosional”).
Demikianlah pengaruh musik angklung pada pendukungnya di Priangan pada masa lalu. Maka tidak mengherankan bila pada pertengahan abad ke XIX, ketika di Pasundan sedang giat-giatnya dilaksanakan apa yang disebut “Cultuurstelsel” atau peraturan tanam paksa oleh pemerintah Hindia Belanda diadakan larangan terhadap permainan angklung.
Alasan larangan itu, karena menurut pengamatan beberapa pembesar Belanda Kolonial, permainan angklung berpengaruh terhadap semangat perlawanan rakyat atas kekuasaan pemerintah jajahan dalam larangan itu dikecualikan permainan angklung anak-anak dan pengemis, mungkin karena dianggap tidak menimbulakan keresahan dan tidak membahayakan bagi ketentraman pemerintah jajahan Belanda.
Sejak itulah angklung turun derajatnya dari alat musik militer dan alat musik upacara yang dianggap sakral menjadi alat musik yang biasa digunakan oleh pengemis untuk mencari nafkah sepanjang jalan dari belas kasihan orang.
Setelah larangan itu dicabut, yaitu sejak dihapusnya sistem tanam paksa, angklung tidak banyak lagi pengaruhnya bagi penduduk, kecuali sebagai alat musik dalam berbagai pertunjukan rakyat seperti reogatau ogel.
Keadaan nasib angklung di Priangan yang demikian itu berlangsung hampir satu abad. Baru menjelang masa penjajahan Jepang terjadi perubahan, sebagai hasil kreativitas dan usaha tidak kenal mundur dari Daeng Soetigna, seorang Guru di Kuningan, kelahiran Garut.
Pada masa gerakan kebangsaan di kalangan bangsa Indonesia makin menggelora, angklung yang sekian lamanya ikut menjadi korban penjajahan asing, mulai terjaga kembali.
Sejak tahun 1938 Daeng Soetigna dengan tekun mengadakan eksperimen-eksperimen agar angklung yang diketahui sebagai salah satu unsur seni budaya bangsanya dan merupakan warisan yang pantas dipupuk dan dikembangkan, mendapat tempat yang layak di kalangan masyarakat luas.
Setelah lama dipelajari dari berbagai segi, Pak Daeng sampai pada kesimpulan, bahwa angklung dapat cepat popular harus disesuaikan dengan selera generasi muda, yaitu diubah tangga nadanya dari pentatonis menjadi diatonis.
Setelah mengalami berbagai hambatan dan kegagalan, akhirnya usaha inovator itu berhasil dengan memuaskan.
Angklung kembali mendapat tempat yang layak di masyarakat. Bahkan mendapat reputasi internasional, sebagaimana terbukti dari pernyataan seorang musikus besar Australia IGOR HMEL NITSKY pada tahun 1955, sebagai berikut :
“It is with pride and admiration that take this opportunity of placing on paper my surprise delight that Daeng Soetigna has found such a practical and fasginating method af teaching the youth of Indonesia how to a appreciate and play their own historic instrument, the angklung. His original idea of enabling young children to read and understand that tonal structure by visual and practical demonstration, is to say the least, wonderful.
This extraordinarily talented young teacher has also found a way in which to use is national idion to bring European music to the people of his country. The great value in giving the players the rare combination of pleasure and discipline-i.e. good teamwork which would give a unique satisfaction both to performers and audience.
I doubt whether Australia is the ideal place in which he should study further, and feel that his development would be best nurtured by study and research in European contries, and I sincerely hope that he will have the opportunity of so doing, and thus be in the position to further enrich his countrymen in this practical, educational, cultural and national interest”
Dengan kreasi Pak Daeng itu ternyata kemudian, bahwa angklung dapat dijadikan sarana pendidikan untuk mempertebal jiwa gotong royong, kerjasama, disiplin, kecermatan, ketangkasan, tanggungjawab dan sebagainya, disamping pemupu rasa musikalis.
Berdasarkan hal-hal itulah, meskipun menurut anggapan beberapa pihak, angklung sebagai alat musik memiliki beberapa kekurangan, akan tetapi dapat dipertanggungjawabkan sebagai alat pendidikan, sehingga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memandang perlu untuk menetapkannya sebagai alat pendidikan musik di sekolah, dengan Surat Keputusan tertanggal 23 Agustus 1968, No.082/1968 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah memutuskan:
1.    Menetapkan angklung sebagai alat pendidikan musik dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
2.    Menugaskan Direktur Jenderal Kebudayaan untuk mengusahakan agar angklung dapat ditetapkan sebagai alat pendidikan musik tidak hanya dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Demikian, angklung seolah-olah melambangkan pasang surutnya sejarah bangsa Indonesia. Ketika bangsa Indonesia berada dalam telapak kaki penjajah, angklung hanya menjadi alat musik pengemis. Dengan dicapainya kemerdekaan, kembali angklung menjadi alat musik yang dapat dibanggakan.
…….Angklung sudah mengajarkan kepada kita untuk hidup berdampingan dalam keberbedaan untuk mencapai tujuan bersama, dengan demikian janganlah mengharamkan perbedaan, justru dengan adanya perbedaan maka lahirlah sebuah harmoni. Jadi perbedaan itu bukan untuk ditandingkan, tapi untuk disandingkan. Dengan perbedaan kita coba mengembangkan kekuatan baru.